Posted by: yettiaka | April 20, 2020

Segala Sesuatu yang Menggangguku

(Cerpen Yetti A.KA, Padang Ekspres, 10 November 2019)

Pipa air di asrama mahasiswa di depan rumahku, bocor. Airnya memancar ke mana-mana. Suaranya seperti hujan—ah, sungguh, pagi ini terlalu dingin untuk melihat air yang memancar dengan suara mirip hujan. Ke mana para penjaga? Ke mana tukang-tukang? Mereka seharusnya menelepon petugas PDAM.

Halo, ini penjaga asrama mahasiswa, di sini ada pipa yang bocor.

Halo, ya, halo, saya melaporkan kerusakan pipa.

Halo. Bisa kirim petugas ke asrama mahasiswa? Pipa memerlukan perbaikan segera.

Lebih baik lagi mereka menelepon dari kemarin-kemarin, ketika pipa baru saja bocor (apakah waktu itu suaranya masih mirip gerimis?). Berapa harga satu liter air? Berapa kubik yang telah hilang? Ini tidak sekadar harga-harga, tapi, bukankah di tempat lain, di rumah-rumah di kota ini, mesti menunggu semalaman untuk mendapatkan satu ember air? Surat kabar daerah sudah bertahun-tahun memberitakan soal kekurangan air. Seorang ibu atau bapak memekik karena bak selalu kosong di pagi hari sebab setiap rumah berebutan air, tak bisa masak dan mencuci. Anak-anak tidak mandi berhari-hari. Popok bayi tak bisa dibersihkan sebelum dimasukkan ke dalam tong sampah hingga lalat bergerombol, berdengung-dengung, menghitam serupa malam. Anak-anak sekolah muntah berak, makanan di kantin tidak higienis karena pedagangnya terpaksa menggunakan air yang diambil dari sumur tercemar.

Air! Air! Air!

Kami butuh air!

Ke mana kami mendapatkan air?

Sampai kapan kami menunggu?

Sabar itu ada batasnya, pokoknya kami ingin air!

Suara-suara itu nyaris terdengar di mana-mana; di warung makan, warung sayur, pasar, kantor pelayanan dan jasa, klub olahraga. Kekurangan air membuat kacau semuanya. Rumah tidak dipel. Berkeranjang-keranjang pakaian kotor berbau asam. Piring sering menumpuk di wastafel dengan sisa makanan basi menyertainya.

Oh, ya, Tuhan, dapurku!

Buru-buru kulepaskan perhatianku dari pipa air yang bocor dan masalah besar yang sedang dihadapi kota ini. Aku masuk kembali ke dalam rumahku, menuju dapur yang telah mencemari udara pagiku dengan aroma busuk. Kulit pepaya dan salak berjamur di nampan plastik, biji-biji jeruk berguliran di lantai, sampah kemarin sore belum dibuang, dan  setumpuk piring, gelas-gelas, dan begitu banyak sendok—ada bekas sate di pinggirnya, juga bau sup daging yang menyisakan bau amis—memenuhi ruang wastafel. Kepala bagian kananku berdenyut-denyut. Itu sering kualami akhir-akhir ini. Terutama bila cuaca dingin dan pikiranku agak berat. Aku tak bisa bahagia, kataku lirih seolah mengadu kepada diriku yang lain—sebab aku tak punya orang yang mau menjadi tong sampah tempat aku berkeluh kesah. Aku menoleh kepada beberapa baju yang sudah kuturunkan dalam lemari dan tadi kurencanakan akan segera kucoba untuk memilih yang terbaik untuk kupakai hari ini. Namun, seperti yang kukatakan tadi, aku tak bisa lagi bahagia dengan dapur yang demikian berantakan dan kotor dan pipa air di dekat asrama mahasiswa yang masih bocor, dan aku sudah tidak ingin pergi ke mana-mana di akhir pekan ini. Bagaimana bisa aku melewati hari dengan perasaan baik-baik saja, tertawa bersama teman, minum teh dan ngobrol macam-macam, sementara aku akan terus diganggu ingatan tentang air yang memancar pada pipa bocor di saat kota ini krisis air dan ditambah dengan dapur yang berantakan?

Aku mulai membersihkan tumpukan kulit buah. Juga biji-biji yang berguliran. Aku memunguti satu-satu, membuang ke tempat sampah. Lalu aku mau mencuci peralatan yang kotor. Aku harus membersihkan semuanya, biar kepalaku tidak semakin penuh, dan untung-untung, tak lama lagi petugas PDAM datang untuk memperbaiki pipa yang bocor itu. Setelah itu mungkin saja aku berminat kembali membuat rencana keluar rumah. Berjumpa dengan teman. Membeli mug di mal. Membeli rambut palsu. Mencari lipstik yang cocok untuk bibir cokelat seorang perokok berat.

Akan tetapi, begitu aku membuka keran, hanya tetes-tetes air yang keluar. Lalu mati sepenuhnya. Tak ada suara. Tak ada air yang tiba-tiba turun karena mungkin saja tadi sedikit tersumbat. Aku tertegun. Tak tahu harus bagaimana. Lamat-lamat terdengar olehku bunyi suara mirip hujan di luar. Aku ingin marah sejadi-jadinya. Aku mengumpat, sial! Aku ingin mengumpat lagi, sial! Kuketuk-ketuk keran yang sama sekali tidak meneteskan air itu. Masih berharap kalau ini hanya masalah tersumbat biasa. Namun, tak ada. Benar-benar tak ada air. Aku berteriak-teriak sambil menjambaki rambutku sendiri saking kesalnya, seakan kejadian ini baru pertama kali kualami. Padahal, sudah berbulan-bulan aku dihadapkan pada kenyataan air wastafel yang menetes kecil sekali dan berakhir dengan mati, ya, mati, tak ada setetes air pun yang turun. Kalau sudah begini, biasanya aku menghubungi pemilik depot minuman, memesan bergalon-galon air untuk mandi, bergalon-galon air lagi untuk cuci-mencuci dan memasak. Khusus untuk minum, aku sudah menyimpan berkardus-kardus air dalam kemasan yang kusimpan hati-hati dan sisanya kuhitung dengan teliti tiap kali aku mengeluarkannya untuk kuminum. Siapa yang tidak diserang perasaan cemas akan mati kekurangan air  dalam keadaan begini? Aku juga kerap memesan makanan saja dari luar. Biar tidak perlu terlalu banyak menghabiskan air buat memasak di rumah. Namun, dari hari ke hari, aku makin diserang rasa takut kalau-kalau para pedagang itu menggunakan air tidak layak untuk memasak makanan yang dijualnya.

Karena tidak ada yang bisa kulakukan di dapur ini, maka aku kembali ke luar. Ke halaman yang dipagari tembok bercat gelap. Pagar inilah yang membatasi tempat tinggalku dengan gang kecil depan rumah. Lalu ada tembok  lagi di seberang gang kecil itu, pagar milik asrama mahasiswa dan pipa airnya sedang mengalami kebocoran. Dengan menekukkan ujung kedua kakiku aku bisa melihat ke dalam kawasan asrama itu, melihat air yang memancar ke mana-mana, air yang terus memancar, makin memancar ke mana-mana, merendam halaman dan rumput-rumput, kian  meninggi, terus naik, suaranya yang serupa hujan sudah hilang, berganti menjadi suara ombak.

Semua ini benar-benar gawat, desahku kalut mendapati masalah pipa bocor itu tak sederhana lagi.

***

Aku tidak menghitung butuh waktu berapa lama hingga asrama mahasiswa itu mengapung di atas air sebagaimana yang kusaksikan sekarang. Mungkin saja aku sudah berhari-hari berdiri di sini untuk mengikuti perkembangan ketinggian air, tapi tak satu pun penjaga atau tukang kebun asrama yang muncul atau menelepon petugas (apakah itu begitu sulit?), hingga asrama itu menjelma menjadi sebuah kapal raksasa yang susah payah menjaga keseimbangan agar tidak terlalu miring ke sisi kanan atau kiri dan tenggelam, dan bersiap-siap untuk pergi berlayar. Beberapa mahasiswa keluar dari kamar mereka, berdiri di balkon masing-masing yang berukuran 2×1 meter (tempat biasa mereka menjemur pakaian dalam), melambaikan tangan kepadaku seakan mereka bersiap melakukan perjalanan, meninggalkan tugas-tugas kuliah yang menyakitkan kepala, menyingkir dari segala rutinitas yang hampir membunuh mereka saking monotonnya, mengabaikan berbagai macam berita menyangkut segala sesuatu yang terjadi di kota ini (terutama berita kriminal dan berbagai macam krisis sosial).

Aku melambaikan tanganku begitu saja dan berkata, bergembiralah, seakan aku baru saja melepaskan sekawanan ikan yang selama ini terkurung dalam akuarium atau seolah aku bagian dari mereka yang selama ini terperangkap di dunia yang menjenuhkan. Aku sudah melupakan sama sekali tentang pipa air yang bocor dan seharusnya petugas PDAM sudah datang membetulkannya sebelum air membuat seluruh rumah di kota ini mengapung. Aku juga melupakan kenyataan berapa banyak air yang sudah terbuang dan wastafelku yang penuh perabot kotor dan tak lama lagi kota ini berkemungkinan tak memiliki satu tetes air bersih—ya, tak setetes pun. Bergembiralah, teriakku sekali lagi, bersemangat dan antusias. Teriakanku itu dibalas lambaian tangan yang lebih bergairah dari sebelumnya dan tawa penuh kebahagiaan. Aku tidak tahu mereka akan berangkat ke mana, ke dunia macam apa. Namun, paling tidak tempat itu bukanlah sebuah gedung yang memerangkap mereka selama bertahun-tahun ini. Sebuah gedung yang setiap hari kupandangi dari balik pagar rumahku dan cat putihnya dari hari ke hari memudar dan beberapa bagian menghitam karena lumut terus berkembang biak, terutama di dinding bagian bawah. Sebuah gedung yang penjaganya tak memiliki rasa tanggung jawab dan membiarkan saja pipa bocor dan air terbuang sia-sia.

Bergembiralah! kataku sekali lagi ke arah kapal raksasa yang bergerak-menjauh. Para mahasiswa masih berdiri di balkon, mereka sudah pasti tidak akan mengingatku,  perempuan yang berdiri di halaman rumah selama berhari-hari untuk menyaksikan air yang memancar dari pipa bocor yang kemudian menjelma laut hingga asrama mahasiswa berubah menjadi sebuah kapal dan berlayar.

Aku memandangi laut beserta ombak-ombaknya. Ikan-ikan berlompatan. Mereka bergembira sekali. Ikan-ikan? Oh, tentu saja tidak. Mereka bukan ikan yang sesungguhnya, melainkan para mahasiswa itu. Mahasiswa yang menjelma ikan-ikan itu yang terus berlompatan dan mengikuti gerak kapal berlayar. Aku melambaikan tangan kepada mereka. Bergembiralah! Mereka berusaha membalas dengan cara melompat tinggi-tinggi seperti para lumba-lumba terlatih dalam sebuah sirkus. Para penonton bersorak. Bertepuk tangan. Para ikan kembali melompat tinggi-tinggi. Aku menoleh ke kiri dan kananku. Astaga, aku tidak sendirian, melainkan ratusan orang, dan kami semua sedang menonton atraksi para ikan. Kami bukan berada di arena sirkus, melainkan di atas sebuah kapal yang tengah berlayar!

Ini kekeliruan, kataku kalut, mengingat seharusnya para mahasiswalah yang berlayar, meninggalkan semua masalah di kota ini, membebaskan diri mereka dari jeratan tugas-tugas yang melelahkan. Ini kekeliruan, kataku, sambil menyaksikan para ikan melompat-lompat dan lamat-lamat aku mendengar suara tangis mereka dari laut. Suara yang mirip air pipa bocor; seperti bunyi hujan.[]

Rumah Kinoli, 18/19


Leave a comment

Categories