Posted by: yettiaka | April 20, 2020

Penerbangan

(Cerpen Yetti A.KA, Padang Ekspres, 29 Maret 2020)

Kibi menekan ujung rokoknya kuat-kuat ke dasar asbak. Rokok itu seketika hancur. Menyisakan asap tipis dan puntung pendek dengan noda lipstik merah bata—warna yang sama di bibir tebal Kibi. Ia berbicara tentang jam penerbangannya. Temannya berkata, “Kapan kau ingin dipesankan taksi?” Buru-buru temannya menambahkan bahwa mobil mungkin akan kesulitan menembus kemacetan. Hari ini baru saja diadakan acara pembukaan festival kebudayaan tahunan. Warga berbondong-bondong datang dari berbagai sudut kota untuk menyaksikan kemeriahan pawai yang melewati jalan utama—ditambah para turis luar daerah dan mancanegara. Pada jam ini tentunya mereka sedang memenuhi jalanan menuju rumah atau penginapan masing-masing. “Tidak masalah,” kata Kibi seolah itu bukan sesuatu yang perlu dicemaskan. Ia tidak berencana untuk menunda kepulangannya, tapi juga tak menunjukkan bahwa ia harus segera sampai di bandara jika tidak ingin ditinggalkan pesawat.

“Aku pesan taksinya sekarang,” kata temannya dengan nada serius. Temannya itu lebih gelisah ketimbang Kibi. Dari dulu temannya itu selalu begitu. Ia lebih banyak mencemaskan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Kadang Kibi berpikir, sungguhkah ada manusia seperti itu? Ada berapa banyak? Apa temannya itu saja? Lalu apa yang didapatkannya? “Aku bahagia, Kib,” itu yang dikatakannya. Dan Kibi sulit untuk memercayai segala sesuatu yang berhubungan dengan kata bahagia.

“Pasti macet sekali,” kata Kibi.

“Bagaimana?” kata temannya, tanpa mengalihkan matanya dari ponsel, mencari-cari sebuah nama di deretan nomor kontak.

Kibi benar-benar berpikir kalau sebaiknya ia memesan Gojek atau Grabbike dan ia bisa sedikit santai dulu. Kebetulan ia hanya membawa satu tas dan koper kecil. Jarak ke bandara memang cukup jauh dari sini. Punggungnya pasti pegal-pegal nantinya. Belum lagi debu dan asap dan segala kotoran yang melekat di udara. Ia akan menghirup semuanya. Tapi, itu harusnya bukan masalah besar. Ia bisa mengatasinya. Meskipun hidungnya akan makin gatal karena alergi. Ia pasti bisa mengatasinya, pikirnya.

“Bukannya mobil akan sulit menembus kemacetan?” tanya Kibi. Ia mematut kotoran di kukunya dan kemudian berpikir-pikir kapan terakhir memotong kuku. Mungkin seminggu lalu di kamar mandi rumahnya atau tiga hari lalu saat ia masuk di kamar hotel. Ia benar-benar lupa dan merasa tidak harus memikirkannya. Ia membenahi syal di leher, menyisir rambut sebahunya dengan jemari, dan melakukan hal yang sama sekali lagi.

“Aku sudah memesan taksi,” kata temannya. “Kau tidak punya pilihan selain naik taksi.”

“Kau selalu melakukan itu padaku,” kata Kibi. “Apa aku selamanya akan jadi bayimu dan kau mengatur segala sesuatunya?”

“Itulah yang ingin kulakukan,” kata temannya, tertawa. “Aku hanya ingin semuanya berjalan baik, Kib. Kau tiba di bandara tepat waktu.”

“Dengan naik taksi?” cecar Kibi. Kibi tidak tahu kapan temannya itu akan berhenti menggunakan jasa taksi. Apa temannya itu saja saat ini yang masih menyimpan nomor taksi langganan? “Sebetulnya aku mau sedikit santai dulu di sini,” ujar Kibi. Ia  kembali mematut-matut kuku tangannya. Seolah ada yang salah dengan kuku itu—selain kukunya yang kotor dan agak panjang. Tapi, apanya yang salah dari kukunya?

“Ada apa denganmu ini?” kata temannya. “Kau tidak terlihat antusias dengan keberangkatanmu.”

“Aku akan melakukannya,” kata Kibi.

Temannya menepuk bahu Kibi. “Kau cuma perlu pulang sekarang,” katanya.

“Pada akhirnya aku harus menumpahkan semuanya,” kata Kibi, “tanpa sisa.”

“Seharusnya itu yang kau lakukan sejak dulu.” Temannya tersenyum hangat, memberikan kekuatan kepada Kibi.

“Ya, ya, seharusnya,” kata Kibi.

“Taksinya sudah datang,” kata temannya.

Kibi bangkit. Ia sudah melupakan soal ada yang salah dengan kukunya. Ia mencangklong tas. Temannya mengangkat koper ke luar. Malam terakhir di kota ini sengaja ia habiskan di rumah temannya itu. Sebenarnya Kibi menolak. Tapi, temannya bilang, “Jangan begitu kepadaku, jangan membuatku merasa seperti orang lain.” Mereka memang sudah berteman lebih dari dua puluh tahun. Mereka bertemu pertama kali saat sama-sama menjadi mahasiswa baru—di kota ini. Di hari pertama itu, dengan rambut dikuncir dan diberi pita warna-warni yang membuat mereka mirip badut, mereka datang kepagian. Kibi yang mengajak ngobrol duluan. Kibi selalu diajari ibunya untuk segera mengikatkan diri dengan seseorang saat berada di tempat asing (misalnya, setiap melepas keberangkatannya ke kota lain, ibunya berkata, Secepatnya ajak bicara teman dudukmu dan kepadanya kau akan mengikatkan diri selama perjalanan nanti). Sejak itu mereka menjadi teman tak terpisahkan—bahkan saat berjauhan sekalipun. Sewaktu Kibi memberi tahu akan berada di kota ini selama beberapa hari untuk menenangkan pikirannya, temannya itu bilang: sisakan satu harimu untukku.

Kibi dan temannya beriringan keluar menuju jalan di depan rumah. “Jangan kebanyakan merokok,” pesan temannya.

Dada Kibi tampak ringkih dalam balutan blus pas badan. Temannya itu mungkin mengkhawatirkannya.

“Ini karena aku tidak pernah bisa tidur,” kata Kibi.

“Tetap saja jangan kebanyakan merokok,” kata temannya.

Kibi tergelak dan melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam taksi.

Temannya itu berkata, “Aku menunggu kabarmu.”

“Kau tidak capek mendengar kabar sedih?”

“Pergilah,” kata temannya menutup pintu taksi.

***

Kibi melihat jam di ponselnya, 18.30. Sopir menyapanya dan ia membalas seadanya. Sambil melarikan mobil, sopir bertanya apakah tidak apa-apa jika terjebak kemacetan di jalan raya? Kibi bilang, “Tak apa.” Semua itu sudah ia bayangkan. Jalan yang padat sekali. Bisa dibilang, untuk saat ini, ia akan menyukai kepadatan di jalan raya. Tidak. Tidak mungkin sepenuhnya begitu. Namun, malam ini entah kenapa ia tidak merasa harus terburu-buru atau mencari cara lain agar ia segera tiba di bandara. Lagi pula apa salahnya jika ia belajar menghadapi kemacetan ini dengan tenang? Tidak perlu memedulikan apa-apa. Seperti tidak ada masalah.

Kalau saja temannya tahu apa yang dipikirkan Kibi, mungkin ia akan berkata, “Kau sepertinya tidak pernah yakin ingin melakukannya, Kib.”

Mereka tiba di jalan utama. Kendaraan merayap. Laju taksi yang ia tumpangi melambat. Sopir taksi menyetel lagu. Kibi belum pernah mendengarnya sebelumnya. Kibi memang bukan penyuka musik. Sebenarnya ia bisa saja menegur sopir taksi itu. Memintanya tak menyetel lagu karena ia butuh ketenangan dan sebuah lagu rasanya tidak diperlukan. Hanya saja, ia cepat berpikir mungkin saja sopir itu sengaja melakukannya justru untuk meredam suara bising di luar; teriakan-teriakan, suara mesin kendaraan lain atau suara klakson yang saling bersahutan. Semua orang seolah tidak tahan dengan kemacetan. Semua orang seakan ingin bergerak tanpa hambatan.

“Jam neraka,” kata sopir.

“Biasanya selalu padat begini?” tanya Kibi.

“Belakangan, ya, mulai macet terus,” kata sopir taksi.

“Tadi ada pembukaan festival kebudayaan,” kata Kibi.

“Setiap hari juga memang begini,” kata sopir taksi.

Akhirnya mobil sama sekali tidak bisa bergerak. Kendaraan menumpuk. Seperti barang tak berguna di sebuah gudang.

“Penerbangan jam berapa?” tanya sopir.

Seharusnya Kibi memberi tahu jam keberangkatannya dan ia bisa saja ketinggalan pesawat karena terjebak dalam kemacetan yang luar biasa ini. Namun, Kibi telah menjawab, “Tidak masalah.” Seolah Kibi mau bilang bahwa tidak penting ia akan berangkat jam berapa pun, pokoknya tidak masalah.

Kalau saja temannya itu tahu, ia pasti akan berkata, “Minta putar balik arah taksi, Kib, batalkan penerbangan kalau kamu tidak niat mau pulang.”

Seharusnya memang itu yang ia lakukan. Ia tidak perlu pergi ke bandara. Ia bisa saja beberapa hari lagi berada di kota ini. Membuat janji dengan beberapa teman yang belum sempat ia temui. Memotret perkampungan tepi kali dari sebuah jembatan (ia sangat tertarik dengan jejeran rumah di pinggir kali di tengah kota yang padat). Makan coto khas Makassar di tempat biasa ia saling traktir dengan teman angkatan semasa kuliah yang berada tidak jauh dari Gereja Katolik St. Antonius Kotabaru.  Duduk sendirian di sebuah kafe dan minum semangkuk besar es teler (Kibi paling suka potongan buah nangka). Dengan cara ini ia merasa tak ada yang terjadi dalam hidupnya. Semua masih sama. Harusnya memang tetap begitu. Ia tidak mengerti apa yang membuatnya melakukan ini. Berhari-hari ini, ia meyakinkan diri untuk menyelesaikan segalanya. Ia akan berterus terang soal rasa capeknya. Rasa tak bahagia. Setelahnya, ia dapat pergi dengan lega. Untuk itu harusnya ia tidak boleh ketinggalan pesawat.

Kibi sibuk dengan pikirannya. Ia mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan tidak sungguh-sungguh tahu apa yang sebenarnya ia inginkan.

***

Pesawat yang seharusnya membawanya itu sudah lepas landas. Beberapa saat lalu, Kibi mendengar panggilan terakhir atas namanya dari sebuah kafe di ruang keberangkatan bandara dan ia sengaja mengabaikannya.

Kibi menyedot minumannya. Lambat-lambat. Tidak merasa harus terburu-buru. Sebab. ia memang belum akan ke mana-mana hari ini. Ia bahkan tidak tahu apakah akan bertahan di bandara dan membeli tiket penerbangan baru atau berbalik ke pusat kota, mencari hotel, menelepon temannya besok paginya, dan mendengar temannya itu berkata dengan nada kesal, “Kau selalu begini, Kib.”[]

Rumah Kinoli, 2019/2020


Leave a comment

Categories