Posted by: yettiaka | October 26, 2018

Penjaga Buku dan Tokoh Fiksi yang Tidak Bahagia

(cerpen Yetti A.KA, Padang Ekspres, 12 Agustus 2018)

Sampah plastik jatuh di kepala Far yang tengah memandangi buku-buku. Perempuan 23 tahun itu seketika menengadahkan wajahnya ke arah langit sambil berpikir mungkin Tuhan sedang membagi-bagikan sesuatu—ia berharap sekantong roti paling enak—tapi yang ia lihat hanya tumpukan awan gelap.

Pagi tadi, Far sudah mengingatkan Ruin tentang cuaca buruk. Sudah seminggu ini langit selalu  kelam, kadang disusul hujan, kadang hanya gerimis. Far bilang, terlalu berisiko kalau kita nekat. Ruin minta Far tetap datang ke rumahnya untuk menjemput buku-buku dan membuka lapak baca gratis di area gedung olahraga seperti yang biasa mereka lakukan di bulan-bulan lalu. Kalau hujan, tinggal angkat buku-bukunya dan cari tempat berlindung, kata Ruin. Far bisa memaklumi kekeraskepalaan Ruin. Sudah empat kali hari Minggu mereka tidak membuka lapak baca. Jangan kecewakan pembaca kita, kata Ruin mengacu pada orang-orang yang biasa singgah, memilih buku, dan duduk sembari membaca di sekitar taman tempat sekelompok lelaki bermain catur raksasa (dan karena itu mereka menyebutnya Taman Catur).

Sekarang mungkin hujan belum akan turun, tapi Far sedikit waswas memandangi langit yang makin menggelap. Ruin sudah pulang sejak tadi. Perempuan itu ada urusan mendadak. Tidak masalah tak ada Ruin. Far bisa melakukannya sendiri; menata buku-buku di tempat biasa mereka mangkal dan menunggu orang-orang datang dengan penuh kesabaran.

Akan tetapi, sudah dua jam Far menunggu, tak ada yang benar-benar singgah dan mengambil sebuah buku untuk dibaca. Beberapa orang yang melewati lapak baca itu hanya mengamati sampul, memperhatikan judul, kemudian segera tersedot ke dalam kerumunan klub pencinta binatang—orang-orang yang mengaku sahabat hewan liar dengan cara menjadikannya peliharaan. Far menghitung, ada sekitar tiga hingga empat klub pencinta binatang yang berkumpul, di antaranya klub pencinta sugar glider, pencinta ular, pencinta musang—dan, sepertinya, juga pencinta berang-berang. Masing-masing mereka memasang banner dan memakai pakaian seragam klub. Jika mereka datang pada hari Minggu, sudah dipastikan, lapak baca akan sepi sekali. Dan Far akan banyak bermenung. Tatapannya sering terpaku pada batang pohon atau sekelompok lumut atau semut. Far akan kembali terjaga bila sesuatu mengejutkannya, misal sampah plastik seperti yang tadi menimpa kepalanya atau lengkingan keras seorang anak kecil yang terlalu gembira  menyaksikan tingkah kumpulan binatang.

Far sudah menulis pesan kepada Ruin: hari ini orang-orang lebih suka melihat kebun binatang dadakan ketimbang buku.

Biar saja, balas Ruin.

Ruin sudah sering membalas pesan dengan frase: biar saja. Hanya sesekali saja lapak baca itu ramai dan Ruin akan membalas kabar dari Far dengan kalimat agak panjang dan haru: antusiasme mereka bikin kita tambah ingin melakukan sesuatu dalam hidup ini, Far. Semangat ya. Semangat.

Far menguap. Ia sudah tidak memandangi langit, melainkan ke dedaunan kering yang mendadak terangkat ke udara. Angin berembus lebih kencang. Far berpikir, hujan-badai akan segera turun seperti di hari-hari belakangan. Far gegas berdiri. Siap-siap mengumpulkan buku-buku, memasukkannya ke dalam tas dan kantong tambahan. Namun, seorang anak kecil tiba-tiba menjangkau sebuah buku berisi dongeng-dongeng Nusantara. Anak kecil itu melihat kepada Far, ragu-ragu. Ambil saja, silakan dibaca di tempat ya, kata Far lembut.

Itu sebuah keputusan tercepat yang pernah Far lakukan dalam hidup ini.

Kau sengaja menunda-nunda tugas akhirmu, kata ibunya lewat telepon, kemarin. Dari dulu kau biasa mengabaikan hal-hal penting, kata ibunya lagi, lewat pesan. Belajarlah membuat keputusan yang cepat dan tepat, Far, kata ibunya, lagi dan lagi. Bapaknya tidak pernah merisaukan Far, tapi nyaris tiap Far membicarakan tentang uang sewa kamar atau pembayaran SPP, mengeluh soal adik-adik yang butuh ini dan itu. Untuk itu pula Far bekerja apa saja. Lalu, satu hari Rain menawarkan agar bergabung dalam gerakan literasi yang digagasnya bersama teman-teman dan memberi Far uang jalan tiap kali membuka lapak baca di kawasan gedung olah raga, tiap minggu pagi hingga siang.

Far kembali duduk. Ia lihat langit lagi. Tak segelap tadi. Ia perhatikan pohon dan dedaunan. Angin sudah berhenti. Tadi Ruin sempat berpesan: kau harus bertahan di sana segelap apa pun langit hari ini. Dan Ruin benar. Hujan-badai tak jadi turun. Segalanya berubah cerah dengan cepat. Matahari yang bertengger di langit memancarkan cahaya oranye. Satu-satunya yang tidak berubah, buku-buku tetap tak banyak peminatnya. Mereka tampak begitu malang. Sementara, kelompok kebun binatang dadakan itu makin meriah dan ramai saja.

Di antara rasa jenuh dan lelah, Far memelototi buku-buku yang kesepian itu. Kadang Far masuk ke dalamnya. Ke lembar-lembar kertas bau apak. Ruin pasti saja tidak menjemur buku-buku setelah dulu sedikit kehujanan. Far beralih ke buku lain. Sebuah novel. Warna sampulnya merah dengan ilustrasi tubuh perempuan tanpa kepala. Far berpikir iseng, di mana kepala perempuan itu? Jatuh di sebuah tempat? Sengaja dipotong? Dimakan rayap?

Kepala dalam novel itu mendadak menyeruak menembus sampul merahnya. Far tercekat dan hampir saja terjengkang. Ini belum pernah terjadi selama ia berhubungan baik dengan buku-buku yang dijaganya. Leher tokoh itu—seorang perempuan dengan bibir bergincu merah dan memiliki sepasang mata pemarah—tersangkut di lubang sampul dan sepertinya sengaja tidak ingin benar-benar keluar dari sana. Matanya menatap lekat-lekat kepada Far. Seolah memberi pelajaran agar Far jangan kebanyakan bermain-main dengan pikirannya. Namun, Far tetap tidak mengerti. Ia justru keburu bertanya, apa yang kaulakukan di sana?

Tokoh perempuan berbibir menyala itu, menyeringai.

Kau mendengarku? tanya Far lagi.

Di sini panas sekali! gerutu tokoh perempuan itu—ah, ya, namanya Solena—sama sekali tidak bermaksud menjawab pertanyaan Far. Ia mendongak ke langit. Cahaya matahari menimpanya. Pantas saja, gerutunya lagi dan memalingkan pandangan ke sekeliling taman yang penuh manusia dan barang-barang dan binatang. Ia tak menyangka dunia luar semeriah ini. Tukang kerupuk menjajakan dagangannya, anak-anak berlarian ke sana kemari, lelaki tua berjalan bolak-balik di atas batu-batu kecil yang disusun rapi di lantai semen, pekerja salon menawari orang-orang untuk melakukan perawatan: spa, pijat, potong rambut, facial, creambath. Namun, seketika hatinya menjadi tawar lagi begitu matanya kembali tertumbuk pada wajah Far yang kosong. Seorang penjaga buku yang tidak bahagia, pikirnya, merana.

Solena, perempuan yang kepalanya keluar dari sampul novel itu, sama tidak bahagianya dengan si penjaga buku dalam kehidupannya. Ia diciptakan oleh laki-laki yang bekerja sebagai tukang jahit. Setiap hari lelaki itu mencatat rumus-rumus dalam dunia jahit-menjahit. Lingkar bahu. Lingkar dada. Lingkar pinggang. Lelaki itu pernah jatuh cinta pada teman kuliahnya sebelum memutuskan menjadi seorang penjahit. Puisi-puisi cinta yang berhamburan di dinding dan kertas-kertas. Puisi-puisi yang lalu mati  begitu saja. Perempuan itu tak pernah menyukainya (terlebih puisi-puisi buruk yang tak henti mengganggu itu). Lelaki itu pun pada akhirnya menekuni dunia jahit seperti dilakukan keluarga besarnya secara turun-temurun dan ia melupakan cita-citanya menjadi seorang penyair.

Akan tetapi, cinta tetaplah cinta, bahkan bila ia memberi luka yang dalam sekalipun.

Lelaki itu, di sela kesibukannya menjahit, menulis novel yang ingin ia persembahkan kepada perempuan  masa lalunya itu. Novel yang tak pernah masuk ke toko buku dan ia hanya membagi-bagikannya secara gratis ke sejumlah komunitas literasi hingga sampai ke tangan Far yang satu hari secara tidak sengaja membaca pengumuman hibah buku di media sosial. Di halaman depan buku itu, penulisnya membuat catatan kecil: semoga kisah ini sampai kepadamu.

Barangkali saja, ia membuat catatan sama pada setiap buku yang dikirimkan kepada berbagai komunitas yang telah memberikan alamat. Ia berharap dengan caranya sendiri salah satu buku jatuh ke tangan perempuan itu, bersama seluruh derita di dalamnya, bersama kemuraman jiwa Solena.

Sejujurnya, di mata Far, novel itu sangat buruk—baik teknik penulisan maupun penggarapan karakter tokoh-tokoh. Namun, ia tak pernah melontarkan komentarnya itu kepada siapa pun, tidak juga kepada Ruin yang begitu antusias menerima hibah buku itu, dan Far menyimpannya sendiri sambil sering berpikir tentang seorang penjahit yang menyedihkan, di suatu tempat di ruang jahit yang sempit dengan potongan-potongan kain berserakan di lantai dan rambut makin abu-abu dari hari ke hari dan sebuah novel tak bernasib lebih baik darinya dengan tokoh-tokoh yang saling membenci di dalamnya.

Pada saat Far sibuk dengan pikirannya dan membuat ia terisolasi dari seluruh kejadian di sekitar, Solena menggerak-gerakkan kepala, setengah memberontak, berharap ia bisa membebaskan kepalanya dari lubang sampul buku. Ia sudah terlalu jenuh berada di dalam novel itu. Novel yang tidak pernah dibaca orang—kecuali Far yang satu kali membacanya dengan niat sekadar mengisi waktu kosong. Adakah penderitaan lain yang melebihi itu? Aku mau bebas! teriak Solena. Bebas dari nama pengarangnya yang gila, bebas dari jalan cerita hidupnya yang mengenaskan, bebas dari kesepian bertahun-tahun dan bau jamur di halaman buku yang lembap.

Kau kenapa? tanya Far baru tersadar dari waktu-yang-seakan-berhenti tadi dan ia menemukan kepala Solena makin menjulur keluar.

Sudah kukatakan, aku mau bebas, kata Solena sambil menjangkau tubuh Far dan menariknya kuat-kuat hingga gadis itu terperosok ke dalam buku dan setelah itu cepat-cepat ia meloncat keluar. Ia tersenyum licik, menyaru menjadi sosok Far yang duduk menjaga buku-buku. Sebuah panggilan masuk ke dalam ponsel yang tergeletak di atas semen tempat tadi Far duduk. Solena membaca nama Ruin dan ia mengangkatnya.

Far, lelaki itu menanyakan novel yang dikirimnya beberapa waktu lalu. Ia menanyakan apa kisah itu sudah sampai kepadaku. Siapa dia, Far? Memangnya itu kisah apa? Suara Ruin terdengar resah.

Padang, 2018


Leave a comment

Categories