Posted by: yettiaka | October 25, 2015

Jeruk-Jeruk yang Mengering di Kulkas

(Cerpen Yetti A.KA, Lampung Post, 25 Oktober 2015)

Aku membuka kulkas dan kutemukan jeruk-jeruk yang telah mengering—dan beberapa yang lain menciut dan membusuk. Jeruk-jeruk itu berwarna oranye pucat, sementara sebagian lain berwarna hijau dengan bintik-bintik hitam tebal yang membuatku bergidik. Kupikir, bagaimana bisa jeruk seperti itu ada di kulkasku?

Aku menutup pintu kulkas cepat-cepat. Aku tidak tahan melihat jeruk-jeruk yang mengering dan aku lebih tidak tahan lagi melihat jeruk yang membusuk. Sialnya, meski pintu kulkas sudah tertutup rapat, jeruk itu tetap menggelitik-gelitik dalam kepalaku. Kupanggil pembantu yang sudah bekerja di rumahku lebih sepuluh tahun. Dia memang tidak bertugas secara khusus menjaga kulkasku dari buah-buhan yang mengering atau membusuk, tapi kukira ia harus tahu kapan waktu yang tepat mengeluarkan isi lemari pendingin—begitu cara ia menyebut kulkas.

“Ada masalah dengan lemari pendingin?” tanyanya memasang wajah was-was yang agak dibuat-buat. Aku tahu seorang pembantu memang harus punya bakat bermain drama. Dan selama ini aku membiarkan ia terus mengembangkan bakat itu dan bahkan mendukungnya dengan menjadi lawan mainnya yang baik.

“Jeruk-jeruk mengering dalam kulkas,” ujarku risau, “jeruk-jeruk itu seperti sebuah kejutan yang sengaja dirancang seseorang, tapi gagal membuatku tertawa. Siapa yang telah membuat lelucon tidak lucu semacam itu?”

Pembantuku mulai mengeluarkan kata “Oh” sebanyak empat kali dan berhenti saat kubilang, “Aku tidak menuduhmu.”

Sekali lagi pembantuku mengeluarkan kata, “Oh” yang lebih berat.

Kau tahu apa yang harus kaulakukan, bukan?”

“Tentu, tentu.” Ia bergerak cepat menuju pintu kulkas.

***

Aku sama sekali tidak tahu lagi perihal jeruk-jeruk itu. Kupikir pembantuku sudah membuang ke tong sampah depan rumah dan tukang sampah mengangkutnya dengan gerobak tuanya ke bak sampah dan sebuah truk membawanya ke tempat pembuangan sampah di pinggir kota—tempat semua sampah orang-orang kota bertemu dan berbagi bau busuk. Di sana jeruk-jeruk yang mengering itu diperebutkan para pemulung makanan, seperti anak-anak mereka yang memperebutkan kepala botak sebuah boneka atau barbie cantik dengan gaun kumal dan rambut yang telah kusut atau alat musik yang bagian-bagiannya tidak lengkap lagi. Orang-orang itu mengumpulkan semua yang mereka temukan. Membawanya pulang dengan keranjang-keranjang dan ember. Benda-benda tak berguna itu mereka jual ke pengepul barang bekas, sementara sesuatu yang bisa dimakan; roti, daging, sayuran, hingga buah-buahan mereka tawarkan kepada beberapa pedagang—dan jeruk-jeruk yang mengering dan beberapa membusuk dari kulkasku tentu pula akan jatuh ke tangan penjual jus buah di gang-gang sempit atau warung kecil yang menjual es jeruk, kebanyakan pelanggannya para pengangguran atau orang-orang yang tidak tahu mau melakukan apa selain menghabiskan waktu dan bergosip seolah-olah itu bisa membuat mereka melupakan hidup yang sakit.

Aku tentu duduk di kafe yang sejuk dan diberi peneduh tanaman rambat. Namun, tetap saja, perasaaanku menjadi tidak enak. Kutatap lekat-lekat es jeruk oranye pucat dalam gelasku yang serat-seratnya mengambang serupa akar-akar halus. Kulihat sebuah biji jeruk lolos dari penyaringan dan mendekam di dasar gelas dan mengambang ketika kuaduk-aduk. Kulihat ada satu (atau dua?) bintik hitam mengapung di permukaan. Kulihat tangan-tangan pemulung berebutan mendapatkan buah jeruk itu. Kulihat gerobak tukang sampah. Kulihat truk sampah yang bau busuk. Kulihat….

Aku sontak berdiri—dan ketika itu leherku sudah berkeringat dingin. Pelayan kafe menatap heran dan tetap seperti itu ketika aku memberikan uang ke tangannya dan berlalu. Aku tidak menoleh, tapi aku tahu mata pelayan kafe itu terus menatap punggungku, kemudian beralih ke gelas es jerukku yang masih penuh.

***

Pembantuku sudah pulang ketika aku sampai di rumah. Ia hanya bekerja setengah hari—dan sering kali ia melakukan segala sesuatu dengan cepat agar bisa pulang lebih awal lagi. Aku tak pernah protes meski pekerjaannya kadang meninggalkan sejumlah masalah; daki yang masih nempel di kerah kemeja, noda kopi yang melekat di lengan baju, piring-piring yang bau sabun cuci. Ia mengasuh seorang balita yang, kalau ia sedang membersihkan rumahku atau mencuci atau memasak, dititipkannya pada tetangga. Demi balita itu pula ia bekerja keras. Kukatakan balita—bahkan hingga sepuluh tahun kemudian—karena anak itu tidak tumbuh baik. Kakinya tidak bisa digunakan untuk berjalan dan lehernya tidak cukup kuat untuk menopang kepalanya. Ia hanya bergantung pada pembantuku itu yang, entah dengan alasan apa, terlalu menyayangi anak itu.

Untuk pertama kali aku ragu masuk ke dalam rumahku sendiri. Aku teringat pada jeruk-jeruk yang mengering—dan sebagian membusuk, itu. Apakah pembantuku sudah benar-benar mengeluarkannya dari dalam kulkas? Aku bisa saja menelepon untuk menanyakan soal itu. Namun, pembantuku itu pasti menganggap ada yang tidak beres denganku. Aku menduga ia akan mengeluarkan pertanyaan, “Apa kau yakin baik-baik saja?” Ia seorang perempuan yang telaten jika menyangkut kesehatanku. Ia tak bisa membiarkan sesuatu yang buruk menimpa orang-orang terdekatnya. Apa aku orang terdekatnya? Tentu. Ia teman ibuku. Dan ibuku yang memberinya pekerjaan di rumah. Aku ingat pesan terakhir ibuku sebelum meninggal dunia, “Ia teman terbaik yang pernah kupunya.” Ibu bercerita tentang masa-masa sekolah mereka. Ibu bercerita ketika pembantuku itu dinikahi pacarnya yang anak kepala desa saat dia kelas tiga SMP dan membuatnya tidak menamatkan sekolah. Ibu bilang, masa tuanya tidak bernasib baik, ia hidup miskin dan ditinggal mati suami. Sekarang giliran kau yang menjaganya, kata Ibu. Karena pesan terakhir ibuku itulah sampai sekarang kami tetap bersama. Kami saling menjaga—meski dia yang lebih banyak menjagaku atau membantuku, sebab bukankah memang itu pekerjaannya?

Aku langsung masuk ke kamar dan jeruk-jeruk yang mengering terus mengikuti ke mana pun pikiranku bergerak. Aku tidak tahu kenapa aku harus memikirkannya di tengah banyak masalah besar di dunia ini. Hanya jeruk-jeruk yang mengering. Apa pentingnya? Aku bertanya kesal. Cukup! Cukup! Ini sudah kelewatan! Aku memarahi diriku. Namun jeruk-jeruk yang mengering itu terus bergerak-gerak di depan mataku, menggelinding, dan bahkan sekarang mulai berjatuhan ke lantai. Badanku mendadak meriang. Aku demam lagi—belakangan aku mudah sekali demam. Aku mengerang-ngerang dalam selimut tebal yang entah sejak kapan menutupi seluruh tubuhku.

***

“Kau sakit?” tiba-tiba pembantuku sudah berdiri di depanku. Wajahnya kelihatan sangat cemas. “Aku mengetuk pintu kamar dan memanggilmu berkali-kali.”

Aku mendesah, pelan. Kebingungan.

“Firasatku mengatakan kalau kau sedang tidak baik-baik saja, makanya aku ke sini.”

Kupikir bisa saja ibuku mendatanginya dalam tidur dan memberitahu keadaanku. Waktu aku kecil ibuku sering mengatakan kalau ia akan selalu menjagaku dan aku percaya sekali pada apa-apa yang dikatakan ibuku.

“Kau sudah mengeluarkan jeruk-jeruk yang mengering dalam kulkas?”

“Oh. Jeruk-jeruk itu?” Pembantuku bertanya dengan nada seru yang suram.

Aku mau mengatakan kalau jeruk-jeruk itulah yang membuat pikiranku kacau, tapi aku tidak bisa membiarkan pembantuku itu tiba-tiba tertawa di depanku dan selanjutnya ia menganggapku tidak waras karena seminggu lalu kepala kantor tempatku bekerja memecatku dan membicarakanku dengan beberapa teman dekatnya dan merasa betapa malangnya jiwa ibuku di surga.

“Di mana jeruk-jeruk itu sekarang? Apa kau sudah membuangnya ke tong sampah? Kau tahu betapa berbahayanya jika jeruk-jeruk itu jatuh ke tangan yang salah. Mereka berebutan. Tangan-tangan kotor. Jari-jari yang berkudis. Mereka membasuh buah itu dengan airmata. Begitu banyak air mata di tempat mereka. Mereka menularkannya ke berbagai tempat dengan cara-cara yang tidak terpuji. Betapa jahatnya….” Aku meracau dan terus meracau sampai aku tidak tahu apa saja yang aku bicarakan.

“Kau pasti sangat lelah,” katanya cepat-cepat memegang lenganku dan menghentikan ocehanku. Kupikir ia sama sekali tidak menyimak apa-apa yang kukatakan selain tentang kata “jeruk” di awal itu saja. Kata yang membuatnya lebih khawatir ketimbang mendengar hal lain.

Akan tetapi, dia benar. Aku memang sangat lelah. Aku tak mendebatnya lagi. Aku menurut ketika dia memberiku sebutir pil pereda panas dan segera memperbaiki letak selimutku .

“Kau perlu tidur yang lelap. Tenanglah, kau pasti mendapatkannya. Tenanglah.” Ia berjalan keluar, menutup pintu kamar, dan meninggalkanku. Namun aku tahu ia tidak akan pergi dari rumahku hingga besok pagi. Aku tahu sebesar apa kesetiaannya pada ibuku. Tenanglah, begitu katanya tadi. Maka aku menarik napas sambil mengulangi kata itu lagi. Tenanglah. Semua baik-baik saja. Ini hanya tentang jeruk.

Jeruk? Jeruk-jeruk yang mengering dalam kulkas itu. Oh. Jeruk-jeruk yang mengering dan beberapa membusuk.

***.

Dia duduk di depanku. Dan ia tampak mengantuk. Kau mengigau sepanjang malam, katanya. Ia mungkin mau mengatakan kalau akulah yang membuat ia sama sekali tidak tidur. Membuat ia harus meninggalkan rumah dan balita yang diasuhnya. Aku merasa sedikit bersalah kepada balita itu. Anak itu mesti dititip ke tetangga semalaman karena aku. Anak yang menjadi alasan pembantuku untuk tetap meneruskan hidup. Anak yang aku tidak pernah bertanya ia temukan di mana. Apakah hidup memang harus punya alasan seburuk apa pun itu? Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu.

“Ingat ini baik-baik,” katanya, “di lemari pendingin itu tidak pernah ada jeruk.”

“Jeruk-jeruk itu mengering dalam kulkas. Aku melihatnya sendiri kemarin pagi. Kau pasti sudah membuangnya ‘kan?” kataku sengit.

Pembantuku menggelengkan kepalanya. Terus-menerus menggelengkan kepalanya.
Aku langsung berdiri. Melemparkan selimut ke lantai. Melewati pembantuku dan menuju pintu yang terbuka. Aku berjalan ke dapur. Kulkas itu tampak bersih bersinar, mungkin saja baru dibersihkan—dan itu membuatku justru semakin ngeri melihatnya. Aku mendekat dan membuka pintunya dan melihat ke dalam. Jeruk-jeruk itu tidak ada. Tidak satu pun. Kuteliti satu kali lagi dan…samar aku seolah melihat pantulan sebuah wajah dalam kulkas. Tua. Kering. Berbintik-bintik hitam.

Seketika aku menjerit dan kudengar langkah cepat kaki pembantuku mendekat, semakin mendekat. (*)

GP, 2015


Leave a comment

Categories