Posted by: yettiaka | October 5, 2015

NOVEL: KAKI

BAB II. Lomba Lari

(8)

“Buat saja sayap dari kedua tanganmu,” kubimbing Nail.

“Begini?” tanyanya.

“Ya. Pejamkan matamu. Kau terbang. Kau bertemu ayahmu.”

Nail melakukannya. Hanya sebentar, lalu ia menggeleng. “Sebenarnya aku tidak tahu ayahku di mana. Mungkin saja ayahku sudah pergi lebih jauh dari kota kecamatan.”
Ayah Nail seorang mandor. Ia datang bersama rombongan pemborong jalan yang sebelas tahun lalu masuk ke kampung kami. Ia membawa banyak pekerja berkulit gelap terbakar matahari. Nenek sering bercerita tentang mereka. Beberapa orang bahkan menjadi keluarga angkat kami. Membantu mengerjakan ladang ketika proyek jalan sudah selesai. Setelah itu mereka meninggalkan kampung. Hanya beberapa orang tetap tinggal, menikah dengan gadis setempat, belajar hidup berladang, dan punya anak. Ayah Nail bukan orang yang memilih tinggal, melainkan ia orang yang kembali.

Sore itu, orang-orang habis mandi dan berkumpul di tepi jalan yang masih berkilat, ketika lelaki itu datang lagi. Datang sendirian. Datang bukan sebagai seorang mandor, melainkan seorang lelaki (Nenek menceritakannya seperti berkisah tentang manusia dalam dongeng).Tubuhnya tinggi besar, berkulit putih, hidung mancung. Rambutnya sedikit putih—atau memang putih—dan selalu ditutupi topi fedora. Dan menurut Nenek, tidak seorang pun yang tahu siapa namanya. Ia hanya dipanggil Orang Asing. Orang Asing itu menyukai Lamidah. Ia kembali untuk perempuan itu.

Mereka pasangan yang serasi, kata Nenek. Lamidah perempuan paling cantik di kampung kami waktu itu. Kulitnya putih bersih dan memiliki sepasang mata bagus. Aku terpukau mendengar Nenek bercerita.

“Kulitku tidak putih,” aku menyela cepat.

“Tidak apa-apa,” kata Nenek, “Tidak semua orang harus cantik.”

Lama setelah malam itu—dan aku sudah berada jauh dari tempat ini—aku punya pikiran sendiri tentang kecantikan dan untuk pertama kali aku menertawakan pikiran kecil nenekku atau orang-orang di kampungku tentang tubuh perempuan.

Nail berjalan ke bawah sebatang kelapa. Ia merebahkan badannya di atas rumput. Aku mengikutinya. Kami tidur terlentang, berjejer. Seekor burung pipit melintas di atas kepala kami. Lalu seekor lagi—dan aku tidak bisa membedakan apa itu burung yang sama atau berbeda. Kudengar napas Nail. Muram. Atau seperti mesin penggiling kopi yang penuh debu—ah, sebenarnya aku tidak terlalu yakin dan mungkin agak berlebihan. Aku merasa temanku itu sedang menahan tangisnya. Aku belum pernah melihatnya menangis. Ia memang tidak pernah menangis di sekolah atau di mana pun. Ia orang yang ceria. Matanya selalu cerlang dan senyum terbentuk di mulutnya, membuat kedua pipinya mirip bunga mawar.

“Aku tidak akan pernah bertemu dengannya.” Nail melipat kedua tangan di bawah kepalanya.

Aku diam. Sekali waktu orang tak membutuhkan suara orang lain. Ia hanya ingin didengarkan.

***

Selasa pagi, lapangan dekat sekolah sudah ramai. Orang-orang berjualan makanan di pinggirnya. Banyak sekali jenis makanan. Di mana ada keramaian, di sana pasti banyak orang berjualan. Begitulah cara orang dewasa memanfaatkan keberadaan anak-anak. Mereka tahu betul, anak-anak cepat tergoda oleh makanan. Terlebih sejenis makanan yang diberi warna merah atau hijau muda. Kami menyebutnya kue kukus. Semua kue kukus itu dibuat dari campuran tapai nasi dan tepung beras. Semua ragi pembuat tapai nasi itu dibeli dari nenekku. Dan kupikir, kue itu enak sekali berkat ragi nenekku. Kue yang dibuat dalam talam besar dan dipotong-potong menyerupai jajaran genjang. (bersambung)

Satu Hari yang Ingin Kuingat_web (1)

dapatkan kumpulan cerpen Satu Hari yang Ingin Kuingat di toko buku terdekat.


Leave a comment

Categories