Posted by: yettiaka | April 2, 2017

Ribuan Ikan Berenang dalam Mata Itu, Daun-Daun Melayang dalam Mataku

(Cerpen Yetti A.KA, Jawa Pos, 02 April 2017)

Aku menunggu orang yang tidak akan pernah datang. Bukan karena ia seorang pengkhianat, melainkan kami memang tak pernah berjanji. Aku bahkan tidak tahu siapa orang itu. Ia mungkin seseorang yang ada di tempat sangat jauh, di belahan utara, selatan, atau barat bumi ini. Ia bisa juga lelaki atau perempuan. Namun, bisa pula ia sama sekali tidak ada. Ya, tidak ada. Dan aku hanya sekadar mau menunggu.

Ini bukan pertama kali aku berada di suatu tempat dan menikmati detik-detik waktu berjalan untuk tujuan menunggu seseorang. Kadang detik itu terasa cepat, kadang begitu lambat. Kadang aku merasa menunggu itu menyenangkan, kadang melelahkan—terlebih jika sudah berjam-jam.

Aku pernah menunggu Sisu. Ia teman SMA-ku. Kami lama sekali tidak bertemu. Sisu menemukan nomor teleponku dan mengajak bertemu. Aku menunggu Sisu selama tiga jam. Waktu itu kurasakan detik-detik berjalan amat lambat. Sisu tidak datang. Nomornya tidak pernah aktif lagi sejak hari kami janjian itu. Tiga bulan setelah itu, ia menelepon sambil berkata bahwa ia sedang berada di dekat jendela  apartemen lantai delapan dan hatinya berantakan. Ia tidak pernah menjelaskan kenapa ia tidak datang ketika kami janjian dulu. Aku juga tidak bertanya. Aku tidak mau memojokkan orang yang tengah berantakan—dan lebih-lebih berada di dekat jendela di sebuah gedung tinggi. Sesudah itu Sisu hilang sama sekali. Aku tidak mencari tahu keberadaannya. Aku juga tidak menemukan berita tentangnya di koran—semua berita bunuh diri dari sebuah gedung tak satu pun mengarah kepada ciri-cirinya. Ia hanya ingin hilang dari hidupku seperti dulu-dulu. Sangat sederhana.  Aku telah terbiasa dengan kehilangan semacam itu. Lagipula, setelah lulus SMA, aku banyak bertemu teman baru dan Sisu lebih sering menjadi masa lalu. Aku membiarkan Sisu pergi tanpa perlu merasa kalau ia sudah berbuat seenaknya. Nanti kalau Sisu tiba-tiba menelepon lagi dan mengajak bertemu, aku akan tetap berkata, Baik, aku akan menunggu di tempat yang kauinginkan—tanpa perlu mengintrogasinya atau mengungkit-ungkit apa yang telah ia lakukan kepadaku. Sisu mungkin menyebut sebuah tempat dan jam pertemuan. Aku datang ke sana. Aku menunggu lagi. Sisu tidak datang. Aku kembali hidup seperti biasa sampai ia atau seseorang yang lain menghubungiku dan kami membuat janji bertemu.

Satu kali aku membaca sebuah artikel yang membahas tentang tujuan hidup seseorang di majalah perempuan dewasa. Artikel itu dibuka dengan pertanyaan: apa yang paling kau inginkan dalam hidup ini? Aku menjawab dalam hati: Menunggu seseorang.

Aku memang paling suka menunggu. Tidak peduli apakah orang itu akan datang atau tidak. Aku selalu datang lebih awal ke kantor dan menunggu teman-temanku datang satu per satu. Mereka tidak pernah tahu aku sengaja melakukannya. Jika salah seorang dari temanku tidak datang, aku membiarkan diriku menerka-nerka sebentar. Mungkin temanku itu sakit dan ia sudah menelepon kepala karyawan untuk memberitahukan ketidakhadirannya. Aku berharap ia lekas sembuh dan di hari ia masuk lagi aku akan menunggu kedatangannya di pintu kantor. Ia tak perlu tahu kalau aku menunggunya. Selain tidak ingin membuatnya berpikir macam-macam, aku memang lebih suka menunggu tanpa orang lain tahu. Jenis menunggu seperti itu membuatku seolah sedang bermain-main tanpa perlu melibatkan perasaan orang lain. Tanpa perlu membuat orang terpaksa buru-buru. Tanpa perlu mengharuskan orang datang karena sungkan.

Lalu di sini, aku masih akan menunggu seseorang yang tidak akan pernah datang itu. Aku sengaja berdiri di bawah sebatang pohon yang hampir mati. Daun-daun pohon yang tinggal sedikit itu berwarna oranye tua. Beberapa cabangnya menyisakan ranting-ranting yang kering. Aku bisa bayangkan perjalanan panjang pohon ini menuju kematian. Itu mungkin tidak menyenangkan baginya kalau saja pohon ini punya hak mengeluarkan pendapat. Nenekku sekarat hampir dua puluh tahun. Saat pertama kali terjatuh, lalu lumpuh, nenekku masih bisa bicara secara jelas dan mengeluarkan pendapatnya. Nenekku bilang ia tak mau mati dengan cara begini. Nenekku ingin sehat kembali. Bisa berjalan ke mana-mana. Lalu mati tiba-tiba tanpa membuatnya menderita. Putera-puterinya—termasuk bapakku sebagai anak tertua—mengusahakan segala cara untuk menyembuhkannya. Sekian rumah sakit, sekian dokter, sekian terapi, sekian dukun. Nenekku tidak sembuh-sembuh. Ia berada di kursi yang menghadap jendela selama bertahun-tahun dan berteman dengan banyak serangga. Saat nenekku tak bisa bicara lagi—juga sulit mendengar—nenekku sudah tak minta apa-apa. Ia persis pohon ini yang mengalami keruntuhan perlahan-lahan dalam diam. Kepada Nenek-lah aku belajar tentang kesabaran dalam menunggu. Sebelumnya, aku sama sekali tidak sabaran dalam hal apa saja. Aku kerap menghentak-hentakkan kaki jika kakakku terlambat pulang sekolah, sebab aku mau mengajaknya menggambar bersama, sebab aku tak punya teman di rumah selain dia. Aku juga suka berteriak-teriak disertai mogok makan bila Bapak atau ibuku pulang kantor tidak tepat waktu—padahal kata Ibu, di kantor itu ada pekerjaan yang sering datang tak terduga. Aku tidak mau tahu. Aku masih berumur enam atau tujuh tahun waktu itu dan belum banyak mengerti tentang kehidupan, belum banyak tahu bahwa selain karena pekerjaan, orang terlambat pulang bisa karena alasan macam-macam. Sayangnya, umurku tidak selalu enam atau tujuh tahun. Tepat pada usia empat belas, nenekku meninggal dunia. Itu tahun duka lara untukku. Aku menangis keras-keras di dekat telinga nenekku, berharap ia mendengar suaraku dan ia hidup kembali untuk satu hari saja dan aku akan menemaninya pamitan kepada teman-teman serangganya di dekat jendela. Umur lima belas tahun aku makin terbiasa menunggu Bapak atau ibuku yang makin sering pulang terlambat dan aku sudah bisa menunggu dengan kesabaran dan telah lama tidak lagi berteriak-teriak dan mogok makan. Di umur-umur selanjutnya, aku tetap menunggu Bapak dan ibuku, meski mereka tak lagi pulang. Kata kakakku, Bapak hilang di padang rama-rama, Ibu tenggelam di lubuk buaya. Itu dongeng yang sering dikisahkan kakakku sebelum kami tidur dan melupakan segala sesuatu.

Di bawah pohon yang hampir mati ini, aku tak lagi mengenal rindu (ke siapa pun itu), sebab kini aku hidup bukan untuk itu melainkan menunggu seseorang yang tak akan datang.

Ia mungkin sedang bersiap-siap berangkat. Ia tentu tidak perlu mengkhawatirkan keterlambatannya sebab ia tahu sekali kalau aku punya banyak waktu untuk tetap berdiri di bawah pohon ini. Ia bersiul-siul kecil atau tersenyum kepada dirinya di cermin. Betapa menyenangkan baginya ditunggu seseorang yang tak menuntut apa-apa. Ia tentunya bosan kepada pacar yang melulu minta ia datang tepat waktu. Pacar manis yang lama-lama banyak menggerutu. Aku pasti berbeda dari jenis pacar seperti itu. Sekali lagi, ia tersenyum—juga mengedipkan mata ke mata yang lain dalam cermin dan berkata, Aku akan pergi untuk menemui seseorang yang berpikir aku tidak akan pernah datang.

Ia menyusuri pinggir kanal kecil—lebarnya hanya sekitar 10 meter—yang airnya sering kali keruh dan sampah plastik berenang bersama ikan-ikan.  Ia tidak tahu bagaimana jalan pikiran manusia yang menganggap sampah-sampah itu pantas hidup di dalam air. Namun, keajaiban sering menjawab kebingungan seseorang.  Saat itu juga ia menyaksikan sendiri sampah-sampah itu melahirkan ribuan anak ikan. Ikan-ikan itu berenang ke hulu (meski ia tidak yakin di mana hulu dan hilir kanal ini, di mana mula dan akhir). Ia mengikuti anak-anak ikan itu dengan keceriaan seorang anak kecil. Ia belum pernah sebahagia ini sepanjang hidupnya. Papa dan mamanya mengurungnya di rumah, di mobil, di sekolah, di mal-mal, di gedung-gedung sampai ia lulus SMA. Ia tak boleh punya teman sembarangan karena papanya tidak ingin ia tumbuh menjadi anak yang bebas, anak yang dapat berbuat sesuka hatinya tanpa pengawasan orang tua. Ia tak boleh main kartu gambar, mengejar layang-layang di sawah di belakang perumahan mewah tempat ia tinggal, mencoba bolos sekolah, manjat tembok, karena itu semua bukan sesuatu yang berguna menurut pikiran orang dewasa. Ia juga tidak boleh menangis, sebab itu dianggap cengeng. Ia tak boleh punya cita-cita selain yang diinginkan oleh orang tuanya. Sesudah lulus SMA itu ia memang berhasil membebaskan dirinya, tapi semua yang ia inginkan di masa kecil sudah tak mampu lagi ia jangkau dan ia tumbuh menjadi manusia menengah kebanyakan yang berjarak dari kehidupan. Maka, kehadiran anak-anak ikan ajaib itu sungguh membuatnya terpesona dan ia mengikuti ke mana pun mereka bergerak dan sesekali melonjak atau bersorak.

Selembar daun paling oranye melayang di atas kepalaku dan jatuh ke dalam kanal dan tepat saat itu aku melihat seseorang yang tidak akan pernah datang itu telah berdiri di seberang dan mata kami saling memerangkap. Saat aku memikirkan cerita ini, mata kami sedang jelajah-menjelajahi sampai ke akar paling dalam. Aku menemukan ribuan ikan berenang dalam mata itu. Ia menemukan daun-daun berwarna oranye tua melayang-layang dalam mataku. (*)

Rumah Kinoli, 2017

 


Responses

  1. Cerpennya Kak Yetti selalu memberi kejutan. Mengalir begitu saja. Saya selalu suka, dan selalu menunggu cerpen-cerpen baru Kak Yetti yang selalu menggoda.

    • Terima kasih ya, sudah singgah dan baca 🙂


Leave a comment

Categories